Perang Indonesia Vs Australia, Ramalan Cocoklogi Nostradamus

Contents

Teori cocoklogi dan konspirasi masih terus populer di kalangan netizen Indonesia. Apabila di awal 2000-an buku-buku konspirasi Yahudi dan Freemason populer, kini giliran video konspirasi yang makin populer.

Ramalan yang sedang viral berasal dari Nostradamus yang menyebut Indonesia dan Australia akan perang di tahun 2037.

Michel de Nostredame adalah peramal Prancis. Ia terkenal karena menulis banyak ramalan dalam bentuk bait-bait puitis (prophecy).

Konten ramalan itu ditonton hingga ratusan ribu kali di berbagai channel YouTube. Ramalan itu berasal dari buku berjudul Nostradamus: The Complete Prophecies for the Future tulisan Mario Reading.

Ada satu bab khusus yang menulis tentang perang antara Indonesia dan Australia pada tahun 2037. Isi bab itulah yang sedang viral.

Nostradamus tidak pernah menyebut nama Indonesia dan Australia. Yang menyebut nama kedua negara itu adalah Mario Reading sendiri.

Cocoklogi yang mencatut nama Nostradamus tak hanya terkait ramalan tentang Indonesia saja. Ambil contoh bab ramalan tentang tsunami 2004.

Nostradamus memang pernah menulis fenomena ketika ikan, bumi, dan akuatik terdampak gelombang kuat (forte vague). Akan tetapi Nostradamus tidak menyebut nama Aceh, Asia, atau tanggalnya.

Namun, Mario Reading menyebut itu terkait tsunami 2004. Padahal, ada banyak fenomena ombak besar dan tsunami di dunia.

Sama juga ketika ramalan kematian Putri Diana dan Dodi Fayed. Penulis mencocok-cocokan Putri Diana dengan Diana dalam mitologi Romawi yang ditulis Nostradamus.

Le tant d’argent de Diane et Mercure (Meski memiliki uang sang Diana dan Merkurius)

Les simulacres au lac seront trouves (Simulakra di danau akan ditemukan)

Penulis tampak melakukan cocoklogi dengan menyebut Merkurius sebagai Dodi Fayed, sementara bayangan (simulakra) dikaitkan dengan kuburan.

Hal serupa dilakukan ketika membahas perang Indonesia vs. Australia. Berikut ulasannya:

Cocoklogi Perang Indonesia vs. Australia

Menjelang akhir buku, Mario Reading membahas ancaman perang antara Indonesia dan Australia. Ia memprediksi perang akan pecah tahun 2037.

Alhasil, isu perang Indonesia vs. Australia pada 2037 menjadi viral.

Perlu diketahui, Nostradamus tidak menyebut Indonesia maupun Australia dalam ramalannya. Sementara, tahun 2037 diambil Mario Reading dengan berlandaskan fenomena gerhana matahari.

Berikut ramalan Nostradamus yang dikutip oleh Reading:

Ung peu devant que le soleil s’esconse

Conflict donne, grand peuple dubieux:

Profliges, port marin ne faict responce,

Pont & sepulchre en deux estranges lieux.

Pada ramalan itu tertulis bahwa sebelum ada gerhana matahari (le soleil s’esconse), bakal ada konflik yang digencarkan orang-orang tak beriman (grand peuple dubieux).

Mario Reading berkata akan ada gerhana matahari total pada 2037, sehingga ia menyimpulkan perang terjadi pada 2037. Tentu sebelum tahun itu juga banyak gerhana matahari.

Pada ramalannya, Nostradamus berkata “pelabuhan laut” tidak bisa melawan (port marin ne faict responce), dan akibatnya jembatan dan memorial akan terpencar di dua tempat (pont & sepluchre en deux estranges lieux).

Mario Reading (bukan Nostradamus) berkata bahwa negara tak beriman itu adalah Australia karena negaranya sekuler, padahal ada banyak negara sekuler di Asia dan Eropa.

Sementara, kota yang diserang dicocok-cocokan menjadi Surabaya karena punya Tugu Pahlawan (memorial) dan pelabuhan besar. Tak ada penjelasan lebih detail kenapa Mario Reading memilih fokus ke Surabaya.

Bab singkat itu ujug-ujug ditutup dengan kesimpulan Mario Reading (bukan Nostradamus) bahwa akan ada perang besar antara Australia dan Indonesia.

Prebunking atau Debunking yang Lebih Efektif Memerangi Misinformasi?

Sebelumnya dilaporkan, penelitian menemukan bahwa menginokulasi pengguna internet terhadap informasi yang salah mungkin lebih berhasil daripada pengecekan fakta. Akan tetapi, peneliti menemukan fakta bahwa metode tersebut tak banyak membantu dalam memperjuangkan kebenaran di internet.

Sebuah studi baru di jurnal Science Advances, “Inokulasi psikologis meningkatkan ketahanan terhadap informasi yang salah di media sosial,” menunjukkan, “membongkar” kesalahan informasi online lebih efektif dan lebih terukur daripada mencoba menghilangkan prasangka informasi yang salah melalui pengecekan fakta begitu orang sudah terpapar.

Berbeda dengan “prebunking” yang mencoba menyuntikkan audiens sebelumnya, seperti vaksin, “debunking” melawan informasi yang salah setelah terpapar, seperti antibiotik.

Studi ini menemukan orang-orang yang awalnya kurang rentan terhadap misinformasi menonton video yang menjelaskan berbagai teknik misinformasi (bahasa manipulatif emosional, inkoherensi, dikotomi palsu, kambing hitam, dan serangan ad hominem). Setelah diedukasi melalui video, mereka kemudian bisa membedakan konten yang dapat dipercaya dan tidak.

Akan tetapi, seperti dilansir dari digitalcenter.org, ada beberapa hal yang menjadi keraguan atas hasil studi tersebut. Berikut ulasannya:

Waspada Informasi

Pertama, penelitian ini membatasi diri pada kesalahan informasi online, tetapi terlepas dari upaya intens dari platform digital, orang tidak hanya hidup online. Jika terdapat audiens yang lebih senang untuk mendengarkan podcast atau radio selama berjam-jam setiap hari, maka tidak banyak yang dapat dilakukan oleh video YouTube yang ditujukan untuk mengedukasi misinformasi melalui metode inokulasi.

Kedua, penelitian ini menganggap bahwa orang lebih peduli tentang kebenaran daripada yang mereka pedulikan. hal tersebut dapat digambarkan seperti bagaimana cara kerja vaksin COVID yang kuat, efektif, dan aman yang ditolak banyak orang karena memvalidasi pendapat dan referensi mereka lebih penting daripada kebenaran.

Psikolog menyebut kondisi tersebut dengan, “mekanisme psikologis terprogram yang menciptakan pembenaran diri dan melindungi kepastian, harga diri, dan afiliasi suku kita”

Untuk itu, kemampuan literasi digital penting sebelum mempercayai sesuatu yang dibaca secara online, dan terutama sebelum dibagikan kepada orang lain. Selain itu, mengikuti temuan penelitian terbaru dan meningkatkan jumlah aduan masyarakat tentang informasi yang salah juga dapat dilakukan untuk berkolaborasi dengan pemerintah dalam mengatur penyebaran misinformasi.